Jumat, 26 Juni 2009

eksanti

Cerita Dewasa 17Tahun : Eksanti, affair pertamaku, Waktu itu jarum jam di dinding ruangan kantorku telah menunjukkan pukul 7 malam. Aku sudah berkemas-kemas untuk pulang, karena kebetulan waktu itu aku mempunyai janji dengan seorang teman lamaku di daerah Cinere. Sewaktu aku berjalan melewati front office, aku melihat Eksanti juga sedang berbenah hendak pulang. Ketika aku bertanya mau pulang ke arah mana, ternyata ia mau ke rumah salah seoarang kawannya di daerah Lebak Bulus. Jadi kami bisa searah satu jalan. Kebetulan, Eksanti tidak membawa kendaraan sendiri, sehingga aku menawarkan untuk pulang bersama semobil denganku. Ternyata Eksanti pun setuju, “Terima kasih Pak, daripada kehujanan”.
“Lumayan ada teman ngobrol di jalan”, fikirku dalam hati.

****

Gerimis rintik-rintik membasahi jalanan yang kami lewati. Dan seperti biasa kalau sedang hujan, penyakit di daerah selatan Jakarta, macetnya minta ampun…. Waktu sangat cepat berlalu, jam di mobilku menunjukkan pukul 20.15.
“Dingin Santi…?”, aku bertanya memecah keheningan kami berdua ketika kami sampai di sekitar Blok A. Memang aku merasakan mobilku dingin sekali AC-nya, padahal sudah aku setel minimal. Mungkin karena hujan, meskipun tidak begitu deras.

“Iya Pak. Dingin banget”, jawabnya sambil mendekapkan tangannya ke dada.
“Kalau lagi di luar kantor gini jangan panggil aku Pak dong…, ntar kelihatan tua aku. Panggil aku Mas saja yaa.. Toh, usia kita nggak beda jauh”, kataku berusaha untuk mencairkan suasana.
“Ya… Mas”. Ia tersenyum ke arahku.

Hujan makin deras. Jalanan makin macet. Pukul 21.00 kami masih berkutat di kawasan Blok A.
“Aku lapar, Santi”, ujarku spontan
“Sama. Aku juga dari tadi, Mas..”, Eksanti menjawab jujur
Kami tertawa bersama. Perut kosong, badan menggigil. Bayangkan…, kami mengobrol apa saja tentang kantor, teman-temannya, keluarga sampai keinginannya untuk segera mendapat pacar yang mau mengerti dirinya. Aku lebih banyak menjadi pendengar cerita Eksanti. Kali ini baru aku sadari, ternyata Eksanti yang duduk di sebelahku bukanlah seperti Eksanti yang aku kenal dalam waktu-waktu terdahulu di kantor. Dalam curhatnya, ia terlihat sangat rapuh.

Entah memang nasibku untuk selalu menjadi tempat curhat orang lain. Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini setelah bekerja, aku selalu dijadikan tempat curhat orang-orang dalam lingkaran terdekatku. Dan kini aku harus menghadapi Eksanti yang sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Love… look what you have done to her, bastard…!

Aku mencoba menenangkannya sebisaku dengan menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif. Aku hanya bisa mengatakan bahwa ia masih beruntung karena ditunjukkan ketidaksetiaan kekasihnya pada saat mereka belum menikah, karena akan lebih sangat menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka telah menikah.

Setelah beberapa waktu kami membahasnya, Eksanti terlihat sudah agak tenang.
“Thanks Mas, kamu mau jadi tempat sampah Santi,” katanya sambil sedikit tersenyum.
“That what friends are for,” jawabku singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang anak kecil.
“Mas, kamu itu aneh yaa…?” tiba-tiba suara Eksanti menyentakku.
“Aneh…, apa sih maksud kamu?” tanyaku asal.
“Hihihihi…” terdengar Eksanti cekikikan mendengarnya.
“Yaa.. aneh aja, Santi sudah kenal mas dari beberapa tahun yang lalu, tapi rasanya Santi nggak pernah merasa dekat dengan Mas, sampai dengan hari ini.., ” kata-kata Eksanti meluncur lancar dari mulutnya.
“….sampai Santi mau curhat sama mas, padahal Santi paling jarang curhat, apalagi sama orang yang nggak deket bener dengan Santi.”
“Sama, aku juga gitu kok. Bisa aja…, jangan-jangan kita pernah ketemu di kehidupan lain sebelumnya yaa…?” jawabku sambil nyengir.
“Ada-ada aja kamu, mas…” katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kiriku.
Jujur saja, aku cukup terkejut menerima perlakuannya, tapi santai saja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak?

Dengan sudut mataku, aku meliriknya, Eksanti tampak sangat damai. Ia sedang menggosok-gosokkan tangan kanannya ke hand rem, mungkin biar hangat. Lalu tiba-tiba, dengan tangan kiriku sengaja aku pegang tangannya.
“Tanganmu dingin banget, Santi”.
“Dari tadi, mas..”.
“Tanganku juga yaa…?”.
“He eh…”, sahutnya tanpa mencoba melepas tangannya dari remasanku. Hujan tetap lebat, sehingga praktis mobilku berhenti seperti yang lain. Macet.

Dalam keheningan, aku meremas-remas tangannya. Eksanti diam saja. Bahkan ia juga mulai ikut membalas meremasi jari-jemariku.
“Lumayan. Agak hangat”, kataku.
“He eh..”, jawabnya lagi sambil senyum.
Aku melirik ke arah Eksanti, ia mengenakan rok mini warna gelap berbunga-bunga kecil warna terang. Meskipun cahaya di dalam mobilku agak gelap, namun aku masih bisa melihat dengan jelas kaki jenjangnya yang putih mulus tanpa cela, semakin kelihatan kontras dengan warna roknya. Aku membawa tanganku ke atas pahanya. Eksanti masih terdiam. Lalu dilepaskannya tangannya agar tanganku leluasa menyentuh… meraba… kulit mulusnya. Halus, haluus.. sekali pahanya. Aku mengusap-usap naik turun. Perlahan tapi pasti, aku mulai menyentuh ujung-ujung renda celana dalamnya. Dari ujung lutut, merayap perlahan ke atas, dengan gerak mengambang aku mengusap-usap sampai menyentuh kembali pangkal celana dalamnya. Berulang-ulang, “Hmm…”, lenguhnya.
“Makin hangat, Santi”, bisikku.
Eksanti diam saja. Aku meliriknya lagi, ia memejamkan matanya. Tangannya memegang tanganku, dan di diusap-usapkan ke atas lapisan satin celana dalamnya. Kini Eksantilah yang mengendalikan tanganku. Aku merasakan, ia mulai basah.

Tanpa aku sadari, mobilku sudah melewati Golden Trully. Aku menarik tangan Eksanti, aku membawa jemari halusnya ke atas kejantananku yang sejak tadi sudah menegang, tetapi masih rapi tertutup celana pantalonku. Eksanti mengerti. Dia meremas-remas lembut batang kejantananku. Lama…., kami saling mengelus, mengusap dan meremas bagian-bagian yang paling sensitif dari tubuh kami masing-masing. Aku juga merasa, setetes cairan bening sudah mulai membasahi celana dalamku. Eksanti tetap memejamkan matanya. Tanganku terus aktif bergerilya. Perlahan-lahan aku tarik dengan lembut rambut kewanitaannya dari celah samping celana dalamnya. Eksanti terus melenguh. Pahanya makin panas. Tangannya makin aktif mengelus-elus kejantananku dari luar.

Tidak terasa, kami sudah sampai di perempatan Fatmawati - Simatupang. Arah lurus ke Cinere masih macet, kanan ke arah Pondok Indah jalanan kosong. Jam di mobil sudah menunjukkan pukul 23.00.
“Aku laper”, bisikku lembut sambil menjilat belakang telinganya.
“Cepet mampir. Bisa pingsan aku. Laparrr… juga aku”,ia mendesah pelan.

Aku memutuskan untuk mengambil arah ke kanan, lalu menyusuri jalur paling kiri. Untuk sementara, kegiatan usap-mengusap, remas-meremas, kami dihentikan. Sekarang kami akan mencari makan dulu. Aku melihat bangunan berpagar bambu gelap, jalan masuknya menurun. Mungkin itu adalah sebuah hotel dan kami bisa makan di sana.
“Kiri yaa..?, Mungkin kita bisa makan di resto-nya”, bisikku.
“Itu restoran..?”, tanya Eksanti.
“Nggak tahu. Kalo resto yaa.. syukur, kalau hotel kita bisa makan di restonya”, jawabku sejujurnya. Sejujurnya, waktu itu aku memang belum tahu sama sekali tempat apa itu.

Aku membelokkan mobil ke kiri, lalu terlihat ada orang yang berlari-lari memakai payung menyambut dan memberi kode untuk mengikutinya. Dia menunjuk suatu tempat seperti garasi dan mempersilakan mobilku masuk ke dalam garasi itu. Aku masuk, lalu ia segera menutup pintu garasi. Aku memandang bingung ke arah Eksanti. Dia mengangkat bahunya tanda bahwa ia bingung atau tidak tahu juga.

Aku lalu turun, sementara Eksanti masih tinggal di dalam mobil. Aku mengikuti petugas yang masuk ke sebuah pintu di dalam garasi itu. Ternyata pintu itu langsung menghubungkan garasi ke suatu kamar tidur. Sebuah spring bed besar berada di tengah ruangan. Dua tempat duduk dan satu meja kaca, lemari buffet kecil dengan pesawat TV 20 inch di atasnya, melengkapi perabotan di sisi-sisi ruangan. Di dindingnya tertempel sebuah kaca cermin yang besar. Di sana juga tersedia kamar mandi di dalam ruangan, yang dilengkapi dengan shower.

Ooo.., ternyata ini hotel atau motel garasi, seperti yang sering diceritakan teman-teman priaku. Setelah membereskan pembayaran kamar dan memesan makanan, petugas segera keluar melalui pintu penghubung ke garasi tadi. Aku mengikutinya.
“Turun yuk…”, kataku kepada Eksanti, yang masih berada di dalam mobil.
Eksanti turun dari mobil dan aku menggandengnya masuk ke dalam kamar. Lalu pintu segera aku kunci dari dalam. Melihat isi kamar itu Eksanti tampak tertegun. Aku lalu bergeser, berdiri tepat di hadapannya. Mataku tajam memandang ke arah mata indahnya, aku tidak bisa menduga apa yang ada dalam benaknya saat itu. Eksanti pun membalas memandangku, ada sesuatu yang bergelora disana. Agak lama kami berdua saling tertegun, terdiam…..

Cukup lama kami masing-masing terdiam dalam posisi ini sambil memandang sebagian horizon langit yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang yang mulai nampak setelah hujan reda dari jendela kamar itu. Sayup-sayup terdengar suara dari TV dalam kamar, rintihan Sinnead O’Connor yang tengah menyanyikan lagu legendarisnya:
…I can eat my dinner in the fancy restaurant but nothing, I said nothing can take away this blue cos nothing compares, nothing compares to you…

Perlahan aku usap rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup keningnya. Eksanti mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Beberapa saat kami saling berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah yang selama ini aku cari? Mungkinkah aku menemukannya hanya dalam beberapa jam saja setelah sekian lama aku mencarinya entah kemana? How can I be so sure about that? dan sekian banyak pertanyaan lainnya berkecamuk dalam pikiranku melewati detik demi detik kami berpandangan. Yang aku tahu beberapa saat kemudian wajah kami semakin mendekat dan sekilas aku melihat Eksanti menutup matanya dan pada akhirnya aku kecup lembut bibirnya.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba tubuh kami sudah saling merapat. Aku mencium Eksanti sampai nafasnya terengah-engah. Aku menjilati bibirnya sambil tetap dalam posisi berdiri. Lidahku meliuk-liuk di dalam mulutnya. Eksanti pun tak kalah garang. Dia memeluk tubuhku erat-erat dan membalas ciuman buasku. Tangan kiriku menyusup ke dalam blouse-nya, sementara tangan kananku menyusup ke celana dalamnya bagian belakang dan mengusap, meremas lembut belahan pantatnya. Aku menciumi Eksanti dengan buas. Bibir sensualnya yang tipis itu aku lumat habis. Lidahku meliuk-liuk di dalam mulutnya dan disambut dengan kelincahan lidahnya. Lalu mulutku turun ke arah leher jenjangnya, aku menjilati lehernya. Eksanti memejamkan matanya, ia tampak sangat menikmati rangsanganku. Tangannya terus mengusap-usap kejantananku yang masih rapi berada di dalam sarangnya.

Kami berciuman seakan-akan kami sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Menumpahkan segala kerinduan dalam kehangatan sebuah ciuman. Perlahan aku raih pinggang Eksanti dan mendudukkannya dalam pangkuanku di atas tempat tidur. Kini kami semakin dekat, karena Eksanti aku rengkuh tubuhnya dalam pangkuanku. Aku usap lembut rambutnya, sedangkan dia memegang lembut pipiku. Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak pernah dia lepaskan. Cukup lama kami berciuman, sesekali terdengar tarikan nafas Eksanti yang terdengar begitu lembut.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk mulai menurunkan bibirku ke arah lehernya. “Ugh…”. hanya terdengar lenguhan lembut Eksanti ketika ia mulai merasakan hangatnya bibirku menjelajahi lehernya. Tidak ada perlawanan dari aksi yang aku lakukan. Eksanti justru makin mendongakkan kepalanya, semakin memamerkan lehernya yang putih dan jenjang. Kedua tangannya meremas seprai tempat tidur sebagai tumpuan. Aku pun semakin terhanyut terbawa suasana. Aku perlakukan Eksanti selembut mungkin, menjelajahi milimeter demi milimeter lehernya, mengusap rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah tubuhku.
“Mas… ookkhh…”, lenguh Eksanti saat dia menyadari terlepasnya satu per satu kancing kemeja blouse-nya.
Ya… aku memang melepaskannya untuk melanjutkan cumbuanku kepadanya.

Jilatan-jilatan lembut mulai menjalari dada Eksanti, seiring meningkatnya hasrat manusiawi dalam diri kami. Dengan sekali gerakan, aku dapat menggendongnya. Kami lanjutkan percumbuan dalam posisi berdiri lagi dengan tubuh Eksanti dalam gendonganku. Tangannya mulai meremasi rambutku. Perlahan-lahan kemejanya terjatuh terhempas ke karpet ruangan, menyisakan bagian atas tubuh Eksanti yang tinggal berbalutkan sehelai bra putih.

Beberapa saat kami bercumbu dalam posisi ini, sampai akhirnya aku merebahkannya lagi di ranjang. Terdengar suara Donita, presenter MTV Asia, terakhir kali sebelum aku meraih tombol off TV yang terletak di buffet samping ranjang. Kali ini suasana benar-benar senyap, hanya tarikan nafas kami berdua yang masih sibuk bercumbu. Eksanti mencoba untuk melepaskan satu per satu kancing kemejaku, hingga akhirnya ia berhasil melepaskannya, hampir bersamaan saat aku berhasil melepaskan bra-nya. Kami meneruskan pergumulan, namun sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam hatiku.

She’s different, pikirku. Jujur saja, aku sudah beberapa kali mengalami sexual intercouse, pun dengan orang-orang yang baru saja aku kenal. Namun kali ini terasa berbeda. Ada perasaan lain yang mengiringi nafsu yang bergejolak, sebegitu dahsyatnya sehingga nafsu itu sendiri menjadi tidak berarti lagi keberadaannya. Rasa sayang, yaa… mungkin inilah yang disebut dengan perasaan sayang itu, sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan keberadaannya. Ini membuatku ingin memperlakukannya seindah dan selembut mungkin. Eksanti bukan hanya seseorang yang mengisi sebuah babak pelampiasan nafsu manusiawi dalam hidupku. Dia berbeda, she deserves the best!

Terdengar lagi lenguhan Eksanti saat aku mulai mengulum buah dadanya. Kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. Mungkin hasrat itu telah memenuhi kepalanya. Jilatan-jilatan diselingi gigitan-gigitan kecil mendarat di sekitar putingnya, berkali-kali membuatnya berjingkat terkejut. Aku meneruskan cumbuanku ke arah perutnya, hingga pada akhirnya berhasil membebaskan roknya ke karpet.

Sekarang terpampanglah pemandangan indah yang tidak mungkin aku lupakan, seorang dewi cantik, rebah dengan hanya berbalutkan celana dalam satin putih. Untuk pertama kalinya aku memandang seorang wanita dalam kondisi seperti ini, tidak dengan nafsu yang menguasai. Begitu terasa bagaimana aku memang menyayangi dan menginginkannya. Matanya yang memandang lembut ke arahku, menghadirkan begitu banyak kedamaian, sesuatu yang terus aku cari selama ini dari diri seorang wanita.

Kini aku mengulum pusarnya, seiring lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar dari bibirnya. Perlahan aku mulai menurunkan kain terakhir yang menempel pada tubuh Eksanti. Terdengar sedikit nada terkejut Eksanti saat aku mulai menurunkan centi demi centi celana dalamnya menyusuri kedua kakinya hingga terlepas entah kemana. Seiring itupun, aku mulai menurunkan jilatan ke arah selangkangannya.
“Masss… mau ngapain… uugghh…”, pertanyaan yang coba diajukan Eksanti tidak dapat diselesaikannya begitu dirasakannya sebuah jilatan mendarat di bibir kewanitaannya.
Permainan lidahku pada liang kewanitaannya memang aku usahakan selembut mungkin, hingga terkadang hanya sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya. Namun hal ini malah justru memicu reaksi Eksanti semakin terbakar.
“Occhhh… Masss…” lenguhnya panjang diiringi nafasnya yang semakin tidak beraturan.

Hisapan dan jilatan silih berganti aku lakukan dengan penuh kelembutan padanya, hingga pada akhirnya terdengar Eksanti seperti mendekati puncaknya.
“Aaacchhh…” jeritnya panjang sambil menghentakkan tubuhnya ke atas, saat puncak itu datang melandanya, menggulungnya dalam suatu sensasi keindahan yang sangat melenakan dan menghempaskannya ke dalam jurang kenikmatan yang begitu dalam.

Kini aku memandang wajahnya. Matanya yang terpejam sambil menggigiti bibirnya sendiri, tangannya yang mencengkram seprei di tepian ranjang dengan kencang, serta nafasnya yang tidak beraturan, cukup untuk mengekspresikan betapa tingginya Eksanti telah terbuai dalam gelombang orgasme yang baru saja dilaluinya. Aku biarkan Eksanti meregang dirinya dalam detik demi detik puncak kenikmatan yang baru saja didapatnya.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar, sehingga kami harus menghentikan aktifitas yang sangat menggairahkan itu.
“Aku ke kamar mandi dulu”, bisiknya, aku mengangguk.
Makanan pesanan kami telah tiba, dan terhidang rapi di atas meja. Aku duduk di atas kursi dan menarik kursiku mendekat ke arah meja kaca itu. Aku menuangkan sebotol coca-cola ke dalam gelas yang telah berisi es. Aku meneguk… hmm…, segar. Ditengah keheningan kamar itu, aku mendengar suara shower dari arah kamar mandi, rupanya Eksanti sedang mandi. Pantas lama sekali dia di dalam sana. Aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi.

Gila…!, Gila…!, Belum pernah aku melihat pemandangan seindah dan seeksotik ini. Menggairahkan, menakjubkan. Aku bengong, terpana, terpesona. Suasana kamar mandinya remang-remang, karena hanya ada cahaya lampu 15 watt yang menerangi. Eksanti sedang mandi di bawah pancuran shower. Lekuk-lekuk tubuhnya sangat sempurna. Putih dan mulus tubuhnya yang tersiram air bagaikan gambar-gambar wanita yang sering aku lihat di majalah Playboy. Badannya tinggi, kakinya panjang dan jenjang, pinggangnya kecil, tapi pinggulnya cukup besar. Sangat sempurna. Eksanti sedang menggosok lehernya dengan sabun sambil memejamkan matanya.

“Mas, tolong matikan AC kamar. Biar nggak kedinginan kalau aku keluar nanti”, katanya.
Aku terjaga dari lamunanku, cepat-cepat aku keluar. Memang dingin sekali di dalam kamar ini. AC tidak aku matikan tapi aku setel menjadi 35 derajad. Biar hangat. Lalu aku kembali melangkah ke kamar mandi lagi.
“Jangan bengong. Mas, mandi sekalian aja…”, katanya waktu aku bengong lagi. Aku segera melepas hem dan celana pantalonku.

Airnya hangat. Pantas Eksanti berlama-lama mandi setelah kedinginan di dalam mobil tadi. Sesaat ketika badanku basah tersiram air, Eksanti menyabuni seluruh tubuhku dengan pelan dan lembut. Mula-mula tanganku, lalu dada dan perut. Dimintanya aku berbalik badan dan kemudian punggungku mendapat giliran. Setelah bagian atas tubuhku rata terkena sabun, Eksanti berjongkok. Disabuninya kakiku, lalu naik ke paha. Aku memejamkan mata. Aku merasakan seluruh elusan dan usapan tangan lembutnya di sekujur tubuhku. Akhirnya, Eksanti memegang kejantananku dan mengelus batangnya pelan-pelan, terasa sangat licin dengan sabun. Setelah bersih, kemudian Eksanti menarik dan melepaskan tangannya dari batang kejantananku.

Kini tiba giliranku. aku segera mengambil sabun dari tangan Eksanti. Mula-mula aku mengusap kedua tangannya. Lalu beralih ke perutnya. Kemudian tanganku merayap naik, kedua payudaranya aku sabuni dengan lembut. Kenyal…. Puting kecoklatannnya mencuat ke atas, sangat kontras dengan warna putih mulus kedua bukit kembarnya. Tangan kiriku membelai lembut dada kanannya, sementara tangan kananku mengusap-usap dada kirinya. Aku lakukan berulang-ulang.., berganti-ganti… Eksanti memejamkan matanya sambil mendesah, menikmati sensasi. Tubuhku merapat ke tubuhnya, dan dengan posisi seperti memeluk, tanganku beranjak menyabuni punggung dan pantatnya. Ketika tanganku sampai di belahan pantatnya, sengaja dengan lembut aku sedikit menusukkan jemariku ke lubang anusnya. “Emmhh… masss,…”, Eksanti mendengus perlahan.

Setelah bagian atas tubuhnya rata dengan sabun, aku lalu berjongkok. Aku mulai mengusap kaki dan betis indahnya. Pelan.., perlahan sekali. Aku sungguh sangat menikmati keindahan ini. Lalu tanganku naik ke pahanya. Eksanti agak merenggangkan kakikanya, agar tanganku bisa menyusup ke celah pahanya. Lalu tanganku naik lagi, sampai akhirnya aku bisa menyabuni rambut-rambut kewanitaannya. Agak lama aku mengusap-usap sekitar daerah kewanitaannya dengan lembut, hingga bibir kewanitaannya merekah.
“Sudah.. Mas, sudah.., please…”, lenguhnya.

Aku berdiri, aku segera memeluk tubuh Eksanti. Terasa licin, tetapi nikmat. Tubuh kami bersatu. Aku mencium mulutnya sampai Eksanti kembali terengah-engah. Tubuh kami terus bergerak mencari kenikmatan. Tanganku mengusap pantat, paha dan kedua bukit payudara indahnya. Tangan Eksanti juga terus menggerayangi tubuhku. Dari usapan di punggung, pantat dan akhirnya bermuara ke kejantananku. Dikocok-kocoknya kejantananku. Aku merasa nikmat. Belum pernah aku mengalami pengalaman sedahsyat ini sebelumnya.

Eksanti mundur dan bersandar di dinding. Kakinya direnggangkan, matanya terpejam seolah membayangkan sesuatu…. Tangannya lalu memegang batang kejantananku. Sabun makin mencair tapi masih tetap licin. Eksanti baru membuka matanya ketika dirasakannya sebuah benda menempel lembut pada bibir kewanitaannya. Dibukanya matanya, memandang lembut ke arah wajahku yang tepat berada di depan wajahnya. “Santi, bolehkah aku…?” bisikku sambil mengecup keningnya. Eksanti hanya mengedipkan kedua matanya sekali, sambil tetap memandangku. That’s enough for me to know the answer of this question.

Perlahan-lahan aku tekan kejantananku menerobos liang kewanitaannya. So gentle and smooth. Eksanti mengerti. Direnggangkannya lagi kakinya. Dibimbingnya kejantananku ke arah lubang kewanitaannya. Dan acchh…, aku mulai masuk. Terdengar nafas Eksanti tertahan di tenggorokannya, menikmati sensasi mili demi mili penetrasi yang aku lakukan terhadapnya, hingga akhirnya keseluruhannya terbenam utuh. Kami terdiam dan saling berpandangan sejenak, menikmati bersatunya raga (dan hati) kami berdua.

Aku kecup bibirnya lembut sebelum mulai melenakannya dalam sebuah percintaan yang sangat indah. Mula-mula perlahan. Makin lama makin cepat. Tangan Eksanti memeluk kedua pantatku ikut menekan. Nikmat sekali rasanya. Badan kami masih licin. Terus aku ayun-ayunkan pantatku dan kejantananku menghujani kewanitaan Eksanti berulang-ulang. Aku masih ingat persis, bagaimana kedua tangan kami saling bergenggaman erat, saat kami terus bergumul menyatukan hasrat dan raga kami. Betapa lembut buah dadanya menekan dadaku, dan betapa hangat dinding-dinding kewanitaannya melingkupi kejantananku yang terus memompanya, membawa kami semakin tinggi terbuai kenikmatan duniawi.

Tak lama, Eksanti merasa tak tertahankan lagi. Dipeluknya aku erat-erat. Eksanti telah sampai ke puncaknya lebih dulu. Kejantananku makin kencang menancap. Aku ayun lagi pelan. Makin lama makin cepat.
“Achh…, achh…, terus mas…, terusss…”, lenguhnya.
Pinggulnya terus bergerak mengimbangi tusukanku. Sejurus kemudian, kami saling berpelukan erat sekali. Mulutnya lalu aku cium. Bibir sensualnya terlalu sayang untuk dilewatkan.

Aku mencabut kejantananku. Aku menghadapkan tubuh indah Eksanti ke arah dinding. Aku sangat menginginkan doggy style. Eksanti mengerti, lalu ia menungging. Pantatnya masih licin oleh sabun. Aku usap-usap. Jari tengahku mulai memainkan kewanitaannya. Eksanti melenguh. Aku mainkan klitorisnya. Aku usap, aku pelintir, aku sodok. Eksanti makin menggelinjang.
“Sekarang…, sekarang…”, desahnya.

Dipegangnya kejantananku, dan dibimbingnya masuk ke dalam celah kewanitaannya. Aku memejamkan mata. Aku tusukkan pelan-pelan kejantananku. Aku condongkan badanku, bersatu dengan punggungnya. Licin…, enak sekali. Tanganku meraih kedua bukit indah payudaranya. Aku mengusap-usap. Licin…, nikmat sekali. Aku lakukan berulang-ulang, sambil tetap menusuk, menggenjot kejantananku ke dalam kewanitaan Eksanti. Aku lalu menegakkan badanku. Aku memegang sisi pinggulnya. Aku mulai mempercepat ayunan. Eksanti menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku menarik pinggulku, Eksanti juga ikut menarik pinggulnya. Aku menusukkan sekuatnya, Eksanti pun mengimbanginya, “Clep…, clep…, clep”.

Akhirnya aku mau keluar. Gerakanku makin aku percepat. Jeritan Eksanti makin keras.
“Di dalam atau di luar Santiii..”, bisikku sambil terengah-engah.
“Di luar saja”, sahutnya.
Eksanti tetap dalam posisi menungging. Pinggulnya makin liar. Aku makin tak tahan. Dan…, aku cabut kejantananku dari lubang kewanitaan Eksanti.
“Sekarang Santiii..”, kataku sambil memejamkan mata.
Eksanti segera membalik badannya, lalu ia jongkok dan mengocok kejantananku.
“Acchh…, “cret…, cret…, cret”, benih-benih cintaku muncrat ke wajah dan badan Eksanti. Banyak sekali. Eksanti terus meremas kejantananku sampai tetesan terakhir air nikmatku.

Eksanti meratakan cairan cintaku ke dadanya, perut dan mengusapkan sedikit ke wajahnya. Baru kemudian dibasuh dengan air shower. Aku membantunya menggosok-gosok tubuhnya dari sisa-sisa sabun yang masih menempel. Tetapi tetap saja, yang lama aku gosok adalah payudaranya yang ranum itu. Putingnya aku hisap-hisap, aku mainkan dengan lidahku.
“Sabar, Mas. Nanti lagi, yaa…”, bisiknya mesra.
“Nggak usah pakai handuk Santi..”, kataku, ketika Eksanti mau keluar menuju tempat tidur.
Eksanti tersenyum. Dia keluar kamar mandi dengan tubuh telanjang. Aku mengikuti. Eksanti langsung menuju ke tempat tidur. Hawa sudah hangat.
“Lapar?”, tanyaku.
“Sangat”, jawabnya singkat.

Aku duduk selonjor di atas tempat tidur, bersandar ke bantal di belakang punggungku. Eksanti duduk di atas pangkuanku. Kewanitaannya menempel erat di atas kejantananku. Sepiring mie goreng berada diatas tangannya, dan kami makan berdua. Sesendok disuapkan ke mulutnya, dan sesendok kemudian ia menyuapiku. Sungguh sangat romantis suasana waktu itu. Kami makan mie goreng itu dengan lahap, sehingga cepat tandas. Namun perut kami masih belum merasa cukup, Eksanti meraih piring lain bersisi nasi goreng dan kami makan lagi bersama. Sambil makan, Eksanti menggerak-gerakkan pantatnya. Kejantananku yang terjepit mulai mengeras.

“Sakit punyaku, Santii….”, bisikku sedikit mengerang.
“Sebentar…, tolong pegang piringnya”, ujarnya sambil mengangkat pantatnya kemudian memegang kejantananku yang sudah siap tempur. Perlahan dimasukkannya ke dalam celah kewanitaannya, “Blesss”.
“Nggak sakit lagi kan..?”, katanya sambil tersenyum.

Piring yang tadi aku pegang dimintanya lagi. Gila,… kami lalu makan kembali, sementara kejantananku menancap erat di dalam kewanitaannya. Eksanti menggerak-gerakkan pinggulnya sambil makan. Akhirnya habis juga sepiring nasi goreng itu. Ia mengambil coca-cola dingin segar…

“Siap?”, tanyanya.
“Ntar dulu, biar turun nasinya”, kataku.
Aku raih tubuh mulus Eksanti, aku peluk dan aku tidurkan di atas tubuhku. Kejantananku tetap menancap di dalam kewanitaannya. Karena tinggi badan Eksanti tidak beda jauh denganku, maka wajah Eksanti tepat berada di atas di wajahku. Kami diam menikmati tubuh kami yang sedang bersatu. Agak lama kami terdiam. Tanganku memeluk erat punggungnya.

Ruangan makin hangat. Bahkan cenderung panas. Kami mulai berkeringat. Wangi tubuh Eksanti menyapu hidungku.
“Mau didinginkan AC-nya?”, tanyaku.
“Dikit aja, Mas… Makin panas makin asyik. Makin berkeringat..”, ujarnya.

Eksanti menggulingkan tubuhnya telentang di sampingku. Clepp.., bunyi ketika kejantananku tercabut dari kewanitaannya. Aku berbalik memandang Eksanti. Aku cium bibir Eksanti dalam-dalam. Eksanti menyambut dengan menyedot dalam-dalam bibirku. Disedotnya pula lidahku. Lalu turun ke leher dan akhirnya aku hisap-hisap puting susunya yang menantang. Eksanti melenguh-lenguh. Tangannya memeluk kepalaku, mengusap-usap dan menekan agar aku lebih dalam mengulum bukit dadanya. Capek.

Aku cium mulutnya dengan ganas. Tanganku meraba-raba pahanya, lalu mengusap-usap lembut rambut kewanitaanya, berulang-ulang. Jari tengahku lalu memasuki celah sempit kewanitaannya. Aku masukkan perlahan-lahan. Keluar.. masuk.. keluar.. masuk.. berulang-ulang. Kepala Eksanti bergerak-gerak tak beraturan ke kiri, kanan, kadang maju, mundur. Sepertinyanya ia mulai on lagi. Aku pindah lagi. Aku jilati putingnya dengan lidahku. Aku puntir-puntir, aku sentuh-sentuh dengan ujung lidah. Lalu aku hisap dan aku kunyah. Berulang-ulang. Matanya terpejam menikmati permainanku. Bibirnya aku lihat meringis menahan nikmat. Jari tengahku menemukan klitorisnya. Aku mainkan. Aku tekan, aku gelitik dan aku tangkap dengan jempolku lalu aku pencet pelan-pelan. Eksanti makin menggelinjang. Keringat mengucur di wajah dan lehernya.

“Aaacchh..”, Eksanti menjerit dan menegang. Entah berapa lama keadaan ini berlangsung, ketika pada saatnya terdengar Eksanti mulai mendekati orgasme kesekian kalinya. Tangannya merangkul pundakku, mendekap tubuhku erat seakan ingin mengajakku ikut dalam gelombang orgasmenya. Nafasnya makin memburu, terdengar jelas di telinga kananku. Aku pun meningkatkan kecepatan penetrasi jemariku untuk membantunya mendapatkan puncak berikutnya.
“Eeegghhh… Mass… aacchhh…” jerit Eksanti tertahan saat gelombang orgasmenya benar-benar datang menggulungnya, menelannya kembali ke dalam jurang kenikmatan yang sangat dalam. Tanganku terjepit di antara pahanya. Sejenak Eksanti terdiam.
“Nikmatt…, sekalii.. mas…”, desahnya sambil memandangku.

Aku menghentikan pergumulan kami sejenak, memberinya kesempatan untuk kembali mengatur nafasnya seusai melewati puncaknya yang kedua. Aku hanya memberikan senyuman dan kecupan lembut di keningnya saat pada akhirnya Eksanti mulai membuka matanya.
“You’re so lovely tonight”, bisikku padanya.

Aku turun dari tempat tidur. Aku setel AC menjadi 28 derajad. Hembusan hawa agak dingin mulai menyapu ruangan. Lampu utama aku matikan. Juga lampu dekat kamar mandi. Pintu kamar mandi aku tutup agar cahayanya tidak masuk. Yang menyala hanya lampu kecil di kedua sisi atas tempat tidur.

Aku berdiri di samping tempat tidur. Aku memandang tubuh Eksanti yang bugil tanpa selimut. Indah, sempurna. Berkulit putih bersih tanpa ada cacat atau bekas goresan atau luka setitik pun. Kedua tangannya ditarik ke belakang kepala. Rambutnya tergerai di kedua sisi bantal. Matanya terpejam seperti menikmati orgasme yang baru saja aku berikan lewat jemari tanganku barusan. Dadanya menantang. Putingnya mencuat. Wajah, leher dan dadanya basah oleh keringat. Seksi sekali.

Aku layangkan pandangan ke bawah. Perutnya rata, tanpa lekukan lemak. Pinggangnya kecil. Pinggulnya seakan selalu siap ditempel. Rambut-rambut kewanitaannya sebagian menyeruak ke atas. Pahanya juga kecil, panjang, seperti jangkrik. Betisnya panjang. Mulus sekali. Ramping. Jari-jari kakinya lentik. Indah. Jagat Dewa Batara! Mimpi apa aku semalam! Aku menelan ludah. Tanpa sadar aku mengelus-elus kejantananku.
“Jangan masturbasi sendiri…, sini naik Mass..”, kata Eksanti dengan lirih mengagetkanku.
Matanya masih terpejam. Eksanti menggeliat. Dadanya dinaikkan. Duhai…, indahnya. Putingnya mencuat. Sekeliling payudaranya basah oleh keringat. Kakinya ditekuk sedikit. Mulus sekali…

Aku rebahkan badanku di samping tubuh indah Eksanti. Aku miringkan badanku. Aku peluk Eksanti dari samping. Eksanti tetap diam. Matanya terpejam. Nafasnya agak cepat tapi teratur. Kaki kananku di atas pahanya. Lututku tepat berada di tulang kewanitaannya. Aku gerak-gerakkan mengusap rambut kewanitaannya. Kejantananku menempel erat di pinggul sampingnya. Tanganku mengusap-usap payudara kirinya.
“Giliranku…”, ujar Eksanti sambil langsung bangun dan duduk bersila di sampingku.
Dipandanginya tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Eksanti tersenyum. Dibasahinya bibirnya dengan lidahnya.

Tanpa basa basi, langsung dipegangnya kejantananku dengan tangan kirinya. Ufff.., Aku memejamkan mata. Dipermainkan di kejantananku. Dicengkeram kuat, lalu dilepas. Cengkeram lagi, lepas lagi. Senut-senut rasanya. Jempol jarinya lalu mengusap-usap topi baja kejantananku. Aku merasa melayang. Apalagi kalau jarinya tepat menyentuh ujung kejantananku. Uuuff…, rasanya tak tergambarkan.

Dengan ganas Eksanti lalu menyerbu mulutku. Dilumat dan dihisapnya bibirku hingga aku sesak nafas. Rambutnya yang agak panjang tergerai menerpa wajahku. Mulut Eksanti terus menerobos mulutku, dan lidahku menyusup masuk ke dalam mulutnya. Bagai ular, aku rasakan bibirnya menari-nari, mematuk-matuk lidahku. Mulut Eksanti menyerbu mulutku yang aku buka dan menghisap lidahku dalam-dalam. Dimainkannya lidahku di mulutnya, dikeluarkan sedikit, dan dihisapnya lagi. Nikmat sekali.

Tangan Eksanti tak kalah aktif. Dikocoknya kejantananku dari lembut, makin cepat, cepat dan lembut lagi. Permainannya ini aku nikmati sambil memejamkan mata. Aku merasa di awang-awang. Tanganku menemukan payudaranya, dan aku remas-remas. Kenyal dan nikmat sekali untuk diremas. Jariku memainkan putingnya dan memang menonjol karena ia juga sangat terangsang.

Eksanti melepas ciumannya dari bibirku dan mulai menciumi wajahku. Dari dahi, kelopak mata, pipi, lalu turun ke leher dan telinga. Dihisapnya telingaku bergantian. Ini membuatku geli namun mm.., nikmat sekali.

Eksanti mulai menciumi dadaku. Sampai di puting, dimainkannya lidahnya di putingku. Bergantian, yang kiri dan yang kanan. Rasanya tak tertahankan. Dihisapnya putingku, dan di dalam mulutnya, putingku dipelintir dengan lidahnya. Aaccchh…

Eksanti kemudian merubah posisi. Tangannya tidak lepas dari kejantananku. Eksanti melangkahi aku, dan dengan perlahan Eksanti hendak mendudukiku.
“Mass… eh..!” teriaknya sedikit terkejut saat tiba-tiba aku menarik kedua tangannya untuk kemudian mendudukkan pantatnya di atas pangkuanku. Punggungku bersandar di kepala ranjang, dan wajah kami saling memandang. Kami kembali berciuman. Perlahan kuangkat tubuhnya, untuk kembali menekankan kejantananku pada liang kewanitaannya. Tangan Eksanti membimbing kejantananku untuk memasuki lubang surgawinya. Dan uuuff.., blesss…, kejantananku masuk ke lubang kewanitaannya. Clep..!, Eksanti langsung duduk dengan mantap. Kejantananku tenggelam di dalam kewanitaan Eksanti. Walaupun kami tengah berciuman, masih sempat kudengar erangan lirihnya saat Eksanti merasakan bagaimana kejantananku perlahan menikam tubuhnya.

Aku membuka mataku. Eksanti tersenyum manis. Dadanya yang indah dengan puting yang menonjol tergantung dengan manisnya. Tanganku tak kuasa untuk tidak meraihnya. Aku usap pelan payudaranya. Juga putingnya.
“Kamu cantik dan seksi sekali Santi…”, kataku tulus dan pelan.
Eksanti mulai menggerakkan pinggulnya. Pelan, memutar. Aku masih diam, tetapi kedua tanganku mengelus-elus kedua bukit dadanya.

Kali ini kubiarkan Eksanti memegang kendali. Aku biarkan bagaimana dengan bebasnya Eksanti memompa diriku. Pundakku dijadikan tumpuan olehnya untuk terus menaik-turunkan tubuhnya di atasku. Aku hanya membantunya dengan meremas buah pinggulnya dan sedikit menaikkan posisi selangkanganku, hingga batang kejantananku terasa makin dalam menghujamnya. Acchh… sungguh suatu pemandangan yang tidak akan terlupakan bagaimana melihat dirinya terus menyatukan raga kami ke dalam suatu persetubuhan yang sangat intim. Matanya yang terpejam, rambut sebahunya yang sudah mulai dibasahi keringat terurai bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan tubuhnya yang berguncang-guncang. Ughh… It’s really a loveable thing to see.

Eksanti mulai menggerakkan pinggulnya makin cepat. Aku mulai menaik-turunkan pantatku. Nikmat sekali. Tangan Eksanti mendekap tanganku di dadanya. Menekan agak keras. Aku makin mengeraskan cengkeramanku pada payudaranya. Aku remas keras. Eksanti makin menggila. Pinggulnya berputar hebat. Erangan Eksanti makin keras.
“Acchh…, aachh…, tusuk lebih keras…”, erangnya.
Aku makin ganas menembak Eksanti. Untung spring bednya bagus, bisa memantul. Makin keras aku menyodok, makin keras desahan dan erangan Eksanti. Dan, “..aaccchh…”, Eksanti mengerang panjang, menggelinjang, lalu diam. Eksanti lalu rebah ke atasku. Aku peluk erat tubuhnya. Ternyata Eksanti mengalami orgasme lagi.

Kejantananku masih tegak dan keras di dalam kewanitaannya. Aku mulai menggerakkan perlahan. Eksanti duduk lagi. Kali ini Eksanti mengambil posisi jongkok. Mulanya diangkatnya pantatnya pelan, lalu dimasukkan lagi pelan. Makin lama makin cepat. Aku juga makin cepat, makin keras dan makin dalam menusuk Eksanti. Gila..!, Bagai naik kuda, Eksanti menghunjamkan kewanitaannya ke batangku di bawahnya. Eksanti mulai mengerang lagi. Dengan binal Eksanti menaik-turunkan pantatnya dan aku serbu kewanitaannya dengan kejantananku.

“Accchh…, achh.. Masss…”, Eksanti terus mengerang.
Ketika pantat Eksanti meluncur ke bawah, dengan kekuatan penuh aku naikkan pantatku. Aku sambut kewanitaannya dengan kejantanan perkasaku. Aku tak tahu lagi rasa nikmat apa ini. Berulang-ulang kami mereguk kenikmatan. Mata Eksanti terpejam. Kepalanya tengadah ke atas bergoyang-goyang. Seksi sekali. Keringat deras mengucur dari wajah dan lehernya yang putih bersih.

Pemandangan yang sangat melenakan ditambah dengan kehangatan yang makin erat menghimpit kejantananku, menit demi menit mulai membuaiku ke dalam sensasi kenikmatan sebuah persetubuhan. Terasa sesuatu mendesak, menghimpitku untuk keluar dari dalam tubuhku. Oh My God, aku rasa aku akan sampai puncaknya, pikirku.
“Mass… I’m almost there…” bisik Eksanti lirih sambil mempercepat gerakan tubuhnya memompaku.
“Yes… babe, me too…” jawabku sambil mengecup erat bibirnya.
Selanjutnya terasa bagaimana gelombang menuju puncaknya seakan berpacu dengan gelombang menuju puncakku. Goncangan tubuhnya makin terasa mendesak cairan kejantananku untuk keluar, sementara tikaman batangku semakin menghadirkan sensasi kenikmatan suatu orgasme yang hanya tinggal sejengkal dari raihannya.
“Aaacchhh… Mass…” jeritnya lirih memanggil namaku saat ternyata gelombang orgasme lebih dahulu menyapanya.

Aku merasa hampir sampai. Aku percepat tusukanku.
“Acchh…, acch…, achh…, cepat…, cepat”, Eksanti juga makin liar. Gerakannya makin tak beraturan.
“Aku mau keluar Sannn..”, bisikku pada Eksanti, Eksanti diam saja. Terus saja dia menggoyangku. Dan, ”….Aaaacch…”, Eksanti menjerit lagi. Kejang. Menggelinjang lagi. Orgasme lagi dia! Kurasakan jepitan bibir kewanitaannya semakin kencang, seolah memijat-mijat batang kejantananku.
“Santiii…, di dalam atau di luar..?”, tanyaku sambil ngos-ngosan karena terus menggoyang Eksanti.

Eksanti kemudian mencabut kewanitaannya dari kejantananku. Dikocoknya kejantananku dengan cepat. Aaacchh…, makin cepat Eksanti mengocoknya, berulang-ulang. Tapi belum juga keluar.
“Kulum Santiiiii…., please”, pintaku.
“Aku belum pernah….”, jawabnya sambil terus mengocok.
Namun Eksanti kemudian menunduk dan memasukkan kejantananku ke dalam mulutnya. Tangannya tetap mengocok. Eksanti tidak memainkan lidahnya atau mengemut-emut kejantananku. Mungkin masih janggal. Aku yang mulai. Aku naik turunku pantatku. Kejantananku keluar masuk mulut Eksanti yang terus mengocok. Aku masih sempat meneruskan tikaman kejantananku beberapa kali lagi hingga pada akhirnya…
“Santiii…, aku keluaarrr…!” teriakku sambil mendekap erat tubuhnya.

Dan, acchh…, acchh…, eeemm…, berkali-kali cairan cintaku muncrat di dalam mulut Eksanti. Terasa bagaimana derasnya cairanku menyembur keluar, di sela-sela gulungan ombak ejakulasi yang menenggelamkanku dalam suatu sensasi kenikmatan yang sangat dahsyat. Namun Eksanti tetap saja mengocok. Aku merasa diperas sampai habis benih-benih nikmatku. Agak lama kejantananku berada di dalam mulut Eksanti. Ketika sudah loyo, Eksanti mengeluarkan kejantananku.

Diambilnya tissu dan disekanya bibirnya. Dikeluarkannya cairan cintaku dari mulutnya dan diseka dengan tissu berikutnya. Kemudian Eksanti mengambil coca cola, berkumur dan ditelan. Aku pandangi Eksanti yang luar biasa dengan perasaan kagum. Eksanti tersenyum padaku. Dalam beberapa saat ke depan kami hanya mampu berpelukkan erat, untuk kemudian bersisian rebah di ranjang.
“Thanks honey, you’re so great…” bisikku sambil mengecup lembut bibirnya.
“Acchh… Mass…” lirih suaranya terdengar, seakan ingin mengatakan hal yang sama kepadaku
Kemudian dipeluknya aku. Kami masih telanjang. Aku tarik selimut. Aku peluk Eksanti erat-erat.

******

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Dari jendela kamar ini terlihat bagaimana lengangnya jalan tol Simatupang yang melintas di atas sana. Hanya lampu jalanan yang mengerjapkan cahaya kuningnya yang menandakan maasih adanya kehidupan di sana. Sesekali masih melintas mobil menuju arah Pondok Indah atau ke arah Cawang. Kami hanya duduk menatapnya tanpa banyak berkata-kata. Aku genggam erat Eksanti dalam dekapanku, menatap kesunyian tanpa sehelai benangpun yang melekat di tubuh kami. Terkadang aku dengus lembut telinga Eksanti, yang selalu saja diiringi desahan manjanya. Ah.. betapa romantisnya, memandang cahaya lampu lewat tengah malam tanpa selembar busana pun yang melekat.

Tak terasa sudah lebih dari lima belas menit kami berdua tertegun memandang jalanan, sejak gelombang-gelombang orgasme tadi menelan kami berdua dan menenggelamkan hingga ke dasarnya.
“Mas, Eksanti pengen mandi lagi rasanya,” tiba-tiba suara Eksanti mengejutkanku.
“Ya udah sana mandi..,” jawabku.
“Ehh.. pintunya jangan dikunci yaa.., siapa tau ntar aku mau nyusul,” godaku lagi.
“Huuh… maunya, aku sudah lemess…,” sahut Eksanti manja sambil menjentikkan telunjuknya di hidungku dan kemudian berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Selanjutnya aku hanya terdiam, melanjutkan lamunanku sendiri. Mengingat betapa beberapa menit yang lalu aku telah melalui sebuah permainan cinta yang sangat indah. Kali ini sungguh berbeda rasanya, lembut dan melenakan. Sungguh jauh lebih indah dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman terdahulu, dengan beberapa wanita yang sempat hadir dalam malam-malamku. Entah mengapa tiba-tiba timbul keinginanku untuk selalu berdekatan dengan Eksanti. Hanya beberapa menit ia tinggalkan (dan itupun hanya untuk mandi), rasa kehilangan itu sudah hadir dalam benakku.

Tanpa aku sadar telah aku langkahkan kakiku ke arah kamar mandi untuk menyusul Eksanti. Krek… terdengar pelan suara handle pintu kamar mandi yang kuputar. Hmm… ternyata memang Eksanti tidak menguncinya. Perlahan aku buka pintu untuk kemudian kembali mendapatkan suatu pemandangan yang sangat memukau. Terlihat samar-samar dari belakang bagaimana Eksanti tengah menikmati pancuran air dari shower yang membilas lembut tubuhnya. Kaca penutup shower menghalangi pandanganku karena telah tertutup uap dari air hangat yang Eksanti gunakan. Entah mengapa pemandangan yang tersamar ini membangkitkan kembali gairahku. Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksinya.
Perlahan aku buka pintu kaca shower untuk kemudian mendekap tubuh Eksanti dari belakang.
“Hei…!” seru Eksanti terkejut sesaat menyadari ada orang lain yang berada dalam kotak showernya.
“It’s me honey…” kataku menenangkan sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke arah leher belakangnya.
“Ughh… Mass…” lenguh Eksanti pendek. Terus aku daratkan ciuman bertubi-tubi ke tubuhnya. Kadang di leher belakangnya, kadang di punggungnya, terkadang pula kulumat bibirnya. Kami berciuman di tengah derasnya pancuran shower yang membasahi tubuh kami. Ingin sekali rasanya aku tikamkan kembali kejantananku dari belakang ke dalam liang kewanitaannya, menikmati sensasi bercinta di sebuah shower yang deras menghujani tubuh kami dengan butiran-butiran air.

Setelah aku rasa percumbuan kami cukup untuk kembali membuatnya bergairah, perlahan aku tuntun batang kejantananku ke dalam liang kewanitaannya. Sejenak terasa lembut dan hangat tatkala kejantananku menempel pada bibir liang kewanitaannya, sebelum aku hentakkannya menerobos hingga ke pangkal batangku.
“Arrggghh…” jerit Eksanti tertahan ketika ia mulai merasakan dirinya sesak dipenuhi oleh desakan kejantananku. Aku mulai memompanya perlahan, keluar dan masuk. Eksanti membuka kedua kakinya lebar sambil kedua tangannya bertumpu pada kedua keran panas-dingin pada shower. Kami kembali bercinta, bergumul dalam desakan arus birahi yang memenuhi kepala dan tubuh kami. Kami bercinta di bawah siraman kehangatan shower yang terus menghujani tubuh kami tiada henti. Terdengar sayup-sayup deru nafas Eksanti diantara derasnya suara air yang tumpah keluar dari shower. Aku lingkarkan tangan kananku di leher Eksanti ketika aku daratkan tangan kiriku untuk mempermainkan puting kanannya, sambil tentunya terus memompanya dari belakang.

Terus aku tikamkan batang kejantananku ke dalam liang kewanitaannya tiada henti. Menit demi menit berlalu, mengiringi persetubuhan kami yang sangat indah. Terasa bagaimana semakin ketatnya lubang kewanitaan Eksanti kian menghimpit kejantananku. Tiba-tiba kedua tangan Eksanti menjangkau tangkai shower yang terpaku pada dinding bagian atas kepalanya, mendongakkan kepalanya seraya melenguhkan erangan yang begitu menggairahkan perasaan, “Occhh Massss… ahhh…”

Ternyata Eksanti kembali meraih orgasmenya yang menariknya kembali ke dalam kenikmatan yang bergulung-gulung mendera batinnya. Aku dekap erat tubuhnya, menjaganya dari kelimbungan yang mungkin dapat saja menghempaskannya ke lantai marmer yang kami injak. Beberapa saat tetap aku dekap erat tubuhnya, sampai pada saat akhirnya Eksanti mulai dapat menggerakkan dirinya sendiri. Kami sejenak bertatapan, perlahan aku cium lembut bibirnya.
“You’re wonderful, Babe,” pujiku saat dia mulai membuka matanya dan memandang ke arahku.

Eksanti membalikkan tubuhnya dan memelukku erat. Aku cium kembali bibir Eksanti sambil aku angkat tubuhnya meninggalkan kotak shower tempat kami memadu nafsu. Aku rebahkan tubuhnya di lantai marmer kamar mandi dengan perlahan. Kembali aku letakkan kejantananku di bibir kewanitaannya seraya perlahan mendorongnya masuk ke dalam. Sejenak aku lihat Eksanti mengigit bibirnya sendiri, seakan tengah menikmati sensasi penetrasi batang kejantananku ke dalam liang kewanitaanya.

Kembali aku pompakan kejantananku ke dalam tubuh Eksanti, membiarkan tungkainya bersandar di pundakku untuk kemudian membuat kami terbang meraih kenikmatan duniawi dengan lembut dan perlahan. Terus aku setubuhi tubuh Eksanti yang tergolek di lantai, mencoba mengimbangi gerakan pinggulnya yang makin menjepit batangku.
“Eksanti, Mas mau keluar…” bisikku lirih saat mulai kurasakan sesuatu mendesak keluar dari batang kejantananku, setelah beberapa waktu berlalu.
“Yes Maass…., semprotkan ke dadaku, please….” sahut Eksanti sambil mengecup perlahan bibirku sejenak.

Terus aku pompakan batang kejantananku untuk mencapai puncak ejakulasiku yang ketiga sejak malam hari tadi. Aku mencoba untuk menahannya selama mungkin, namun usahaku tidaklah banyak membawa hasil, karena tidak berapa lama kemudian aku pastikan bahwa benteng pertahananku tidak akan bertahan lama lagi. Sempat aku hujamkan beberapa kali lagi kejantananku ke dalam liang kewanitaannya sebelum berteriak keras seraya menarik keluar batangku dan memuntahkan isinya, membajiri seluruh permukaan dada Eksanti.

“Accchhh… Aku keluaaarrr…” teriakku parau.
“Yes… ehhhmmm…” erang Eksanti tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, karena dirasakannya cairan kejantananku ternyata juga mendarat di wajah dan rambutnya.
Cukup lama aku meregang diriku dalam orgasme yang sangat dahsyat, dimana Eksanti ikut membantunya dengan mengurut-urut batang kemaluanku, menghabisi cairan yang mungkin masih tersisa di dalamnya. Aku cium bibirnya dalam-dalam sambil mengucapkan terima kasih atas klimaks yang baru saja aku dapatkan, sebelum akhirnya merebahkan diriku di sampingnya.

******

Pukul 5 pagi hari, aku tersadar dari tidur dengan mendadak. Di sampingku tergolek tubuh Eksanti yang tidur memunggungiku sambil aku peluk dari belakang. Sejenak aku coba mengingat-ingat apa yang baru saja aku alami. Samar-samar aku mulai mengingat bagaimana sekitar dua setengah jam yang lalu aku lalui sebuah klimaks yang dahsyat dalam dekapan Eksanti di lantai kamar mandi. Yaa.. aku ingat bagaimana kemudian kami saling membersihkan diri, mengeringkannya untuk kemudian menikmati tidur dalam posisi saling berpelukan.

Terasa dinginnya udara AC kamar menjalari tubuhku yang tidak ditutupi selembar kain pun saat aku singkapkan selimut untuk kemudian mencari pakaianku yang berserakan di lantai kamar yang ditutupi karpet bernuansa maroon. Aku kecup lembut kening Eksanti saat telah lengkap aku berpakaian. Terdengar lirih suara Eksanti saat dia mulai tersadar sedikit demi sedikit dari tidurnya. Aku kecup bibirnya saat dia benar-benar telah membuka matanya, memandangku dengan suatu tatapan yang sangat sulit ditebak artinya. Tatapan sayangkah itu?

******

Jam mobilku menunjukkan pukul 05.30 pagi, ketika dengan santai aku kendarai mobilku membelah jalanan yang masih lengang sambil mendengarkan musik yang mulai dimainkan radio-radio swasta yang mulai mengudara. Aku baru saja mengantarkan Eksanti kembali pulang ke rumah kostnya di sekitar jalan Radio Dalam, sedangkan aku langsung berangkat lagi menuju kantor. Toh di dalam bagasi mobilku selalu tersedia baju ganti, dan aku bisa membersihkan diri di Executive Toilet di kantor nanti. Aku memang harus segera pergi dari sisi Eksanti, setidaknya untuk hari ini, karena dia harus segera berbenah untuk berangkat ke kantor lagi. Sungguh, apa kata orang nanti kalau aku datang bersamanya ke kantor di pagi hari begini, apalagi dengan pakaian kusut yang belum diganti sejak kemarin.

“But no business talks allowed”, masih terngiang di telingaku perkataan Eksanti saat aku ajak dirinya melewatkan malamnya menikmati suasana romantis semalam. Yaa… semoga memang begitu keadaan selanjutnya. Terus terang aku paling tidak mau mencampurkan urusan pekerjaan dengan pribadi.

Dalam hati aku masih sedikit terbersit harapan untuk tetap melanjutkan hubungan ini. Masih terasa bagaimana Eksanti mengecup lembut bibirku saat dia melepasku sebelum dia turun dari mobilku. As I said before, everything seems so right when we’re together. Is she the Miss. Right for me after I’ve been looking for all over places? Why do I feel that she’s the one, eventhough I have known her deeply only by a day. Biarlah waktu yang menjawabnya, karena orang bijak berkata hanya waktulah yang dapat secara pasti menentukan apa yang akan kami jalani di masa depan, sepasti sinar matahari yang selalu menyapa penduduk bumi setiap pagi.

Seperti saat ini, dimana sinar matahari yang pertama jatuh menemani perjalananku menembus lengangnya jalanan kota ini. Sungguh beruntung sekali. Tak terduga. Tak dinyana. Aku bisa bercinta dengan gadis secantik Eksanti, berulang kali tanpa rencana.

*****

Siang hari di kantor, ketika aku sedang menulis cerita ini, ada email masuk dari Eksanti yang isinya, “Mas, nanti sore kalau boleh Eksanti ikut lagi, yaa..? “.
“Apakah aku sedang bermimpi…?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar